Tarahum Dengan Ucapan Rahimahullahu Terhadap Orang yang Menyelisihi Itiqad Salaf
TARAHUM (MENDO’AKAN RAHMAT KEPADA SEORANG YANG SUDAH MENINGGAL DENGAN UCAPAN RAHIMAHULLAHU) TERHADAP ORANG YANG MENYELISIHI I’TIQAD SALAF
Oleh
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani ditanya : Apa pendapatmu -wahai syaikh- tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum (mendo’akan rahmat kepada seorang yang telah meninggal dengan ucapan rahimahullahu, -pent.) terhadap orang-orang yang menyelisihi i’tiqad salaf seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf. Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb. Mengingat anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyah dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fi Zhilalil Qur’an??
Jawaban
Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh muslim dan diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari i’tiqad yang dimiliki oleh jiwa seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka jawabannya adalah telah diketahui -sebagaimana yang telah saya katakan barusan- yaitu boleh mendoakan “semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka”. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebut dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim, maka tarahum tidaklah diperbolehkan. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.
Penanya : Mereka mengatakan bahwa hal ini termasuk manhaj salaf, dimana mereka (salaf sholih, -pent.) tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah). Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka tidak melakukan tarahum kepada mereka.
Syaikh : Kami telah katakan tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika ini benar, maka pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar. Jika ini tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar untuk didiskusikan. Bukankah mereka yang telah dihukumi oleh sebagian ulama sebagai mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk i’tiqod salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita sholat di belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim yang fajir, kita juga menshalati orang yang shalih maupun yang fajir. Adapun orang kafir -di sisi lain- tidak boleh disholati. Oleh karena itu, orang yang disebutkan dalam pertanyaan -mau tidak mau- disebut sebagai ahlul bid’ah. Lantas haruskah mereka disholati ataukah tidak?. Saya sebenarnya tidak berkeinginan mendiskusikan hal ini melainkan karena terpaksa. Jika jawabannya adalah mereka harus disholati, maka jawabannya selesai sampai di sini. Pembahasan telah selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua tadi, sebagaimana yang akan dilakukan oleh nuhat (ahli nahwu). Jika tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi terbuka dan dapat dilanjutkan.
Penanya : Jika dikatakan, kita tidak mensholatinya dikarenakan mereka termasuk mubtadi’! Lantas apakah jawabanmu?
Syaikh : Apa dalilnya?
Penanya : Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil, dan mereka membedakan antara ahlul maksiat dengan ahlul bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Para salaf terdahulu, mereka tidak mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajlis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan ini mereka membangun dakwaannya.
Syaikh : Pertanyaannya tadi apa?
Penanya : Kita menshalati mereka ataukah tidak?
Syaikh : Tidak! anda meluaskan jawaban anda dari pertanyaanku tadi dan anda kehilangan maksud dari pertanyaanku. Pertanyaanku tadi adalah, “Apa dalilnya?”. Dan anda menjawab dengan dalil “dakwaan”. Padahal dakwaan tidak sama dengan dalil. Sedangkan anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.
Penanya : Tidak ada dalil -ya syaikh-, mereka beragumentasi dengan amalan para salaf.
Syaikh : Apakah amalan salaf itu dalil?
Penanya : Itu yang mereka dakwakan.
Syaikh : Manakah dalil dari dakwaan ini?
Penanya : Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.
Syaikh : Bukankah para ulama melakukan muqotho’ah (pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan? Lantas, apakah ini artinya mereka menghukuminya sebagai kafir?
Penanya : Tidak.
Syaikh : Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki pendapat/sikap pertengahan antara muslim dan kafir. Jika mereka ini muslim maka diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir diperlakukan sebagaimana kafir. Kita tidak memiliki pendapat pertengahan sebagaimana pendapatnya Mu’tazilah, yang menyatakan ada tempat diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain) -yaitu diantara muslim dan kafir-. Selanjutnya, semoga Allah memberkahimu, hal ini murni merupakan pendapat belaka -yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum-. Ini merupakan pendapat belaka yang diusung oleh para pemuda yang multazim (berpegang dengan sunnah) yang mengambil beberapa perkara dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Saya telah menunjukkan pada anda suatu hakikat yang tidak mungkin dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia seorang muslim, menurut dari apa yang dia zhahir (tampak)-kan maka ia disholati, bahkan -sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani, serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti biji dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan tentang hal ini.
Kendati demikian, jika ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim -atau para ulama tidak mau menshalatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah tidak boleh. Hal Ini menunjukkan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan menunjukkan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi oleh orang selainnya. Sebagamana kisah dalam sebuah hadits -yang harus kau ingat- di saat nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam beberapa riwayat, “Shalatilah sahabatmu ini!”, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah nabi, yang tidak turut mensholati seorang muslim ini yang lebih utama (dijadikan dalil, pent.) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim yang lebih utama??
Penanya : Penolakan Nabi yang lebih utama!
Jawaban : hasanan! (anda benar). Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam-lah yang lebih utama. Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menshalati muslim tadi tidaklah menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan ketidakbolehan mensholatinya. Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan. Apakah hal ini berarti seorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya -berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih muslim-.
Singkatnya, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan menshalatkan mereka. Mereka melakukan hal ini (tidak turut menshalati) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan -si mayit- agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran yang benar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terhadap seorang yang tidak dishalatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menshalatinya? Penyebabnya adalah dia menyimpan beberapa bagian dari ghanimah untuk dirinya sendiri. Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mensholatinya adalah lebih utama daripada penolakan para ulama salaf yang melakukan hal ini. Namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah. Dari sini, perlu diteliti untuk mengetahui siapakah mubtadi’ itu dan siapakah kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul pada pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan kafir dengan serta merta ia menjadi kafir? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak?
Penanya : Tidak!
Syaikh : Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci. Apakah yang dimaksud dengan bid’ah? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan maksud menambah kedekatannya (taqarub) kepada Allah Jalla wa Ala. Apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi’?
Penanya : tidak
Syaikh : Lantas siapakah mubtadi’ itu?
Penanya : Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan dan ia tetap bersikeras melaksanakan kebid’ahannya.
Syaikh : Ahsan. Jadi, orang yang disebutkan -dalam pertanyaan pertama tadi- yang dinyatakan tidak boleh tarahum terhadap mereka, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka? Allahu ‘alam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka? Apakah mereka muslim atau kafir?
Penanya : Muslim.
Syaikh : Prinsip dasarnya adalah mereka muslim. Oleh karena itu, diperbolehkan tarahum terhadap mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah diperbolehkan kita memohon maghfirah dan rahmat kepada mereka. Bukankah ini masalahnya? Jadi permasalahan ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu pendapat bahwa tarahum terhadap fulan dan fulan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin, tidak boleh baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik). Mengapa? Karena dua alasan yang tersimpulkan dari ucapanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah kalaupun seandainya kita tahu mereka adalah pelaku bid’ah, kita tidak tahu apakah hujjah telah ditegakkan ataukah belum, dan apakah mereka bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak. Karena itu, saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, dikarenakan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari.
Konsekuensinya, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak pula menghukumi mereka sebagai mubtadi’, dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah (dengan madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent.)
Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri (madzhab ahlus sunnah, pent.). Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (para pemuda yang semangat tadi, pent.) adalah, bahwa mereka adalah muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah, serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar akan hal ini, kita akan terhindar dari masalah yang merebak dewasa ini.
[Sumber : Transkrip kaset Haqiqotul Bid’ah wal Kufri, Silsilah Huda wa Nur, rekaman : Abu Laila al-Atsari, alih bahasa ke Indonesia : Abu Hudzaifah, dikoreksi dan dimuroja’ahkan dengan kaset aslinya oleh : Abu Salma]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1770-tarahum-dengan-ucapan-rahimahullahu-terhadap-orang-orang-yang-menyelisihi-itiqad-salaf.html